Aku sebagai penulis sebuah surat di hari ini akan
bercerita tentang sedikit pengalaman, ketika cinta menghampiri dan membuat dua insan bersama dalam sebuah janji pribadi untuk tetap menjaga kebersamaan
hingga diakui semesta.
Kisah ini acap ditemui sekitar yang tak jarang akan
di tambahkan sejumput cerita penyedap untuk menarik perhatian orang akan
keseluruhan kisah yang di maksud.
Aku, aku aninda. Aku hanyalah gadis biasa yang
setiap hari menempuh waktu 2 jam setiap pagi untuk berangkat menimba ilmu dan
bersosialisasi di sebuah lembaga pendidikan. Aku bukan orang unik, aku biasa aja. Namun seseorang mampu
membuat alur hidupku menjadi luar biasa.
2013 merupakan tahun dimana harapku lagi-lagi tak
sesuai dengan kenyataan yang harus ku cerna. Banyak hal yang cukup mengecewakan
dan tidak lagi sesuai dengan konsep yang telah ku coba padankan dengan kesanggupan diri di awal tahun. Manusia
dapat berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Aku percaya, Tuhan memang
menginginkan ku untuk mempelajari kesalahan dan menuai keberhasilan kelak.
Oh ya,
di tahun ini aku berjumpa dengan teman lama dalam keadaan yang sungguh memang
rencana Tuhan itu sangatlah indah. Tak semua orang menyukai bergerumul dalam
kisah lama,namun aku tertarik akan kisahnya, kisah lalu teman lama yang ingin ku
ketahui karena hendak membaca kepribadiannya,bukan ingin tahu keseluruhan kisah
lama tersebut. Sekitarnya seakan terhenti lantaran hilang bayang masa lalu-nya
dan berpikir tak akan lagi menemui pelangi setelah badai yang menghanyutkan
semua mimpinya.
Hai teman, ingatlah masa dimana kamu ucap tak lagi mempunyai
arah masa depan karena kehilangan sesosok semu pasangan dan lihat sekarang
keadaanmu. Bersyukurlah karena janji Tuhan benar adanya, telah diciptakanNya
seorang pasangan untuk tulang rusukmu itu,teman.
Aku dan teman lama berteman untuk saling
menyemangati. Tak ayal lantaran rasa penasaranku yang tinggi akan pribadinya,
membuatku kesulitan mengendalikan perasaan tersebut dan berusaha untuk tidak
salah menafsirkan hal tersebut menjadi hal yang tidak seharusnya ku rasakan.
Singkat kisah, aku memilih untuk bersamanya setelah
lagi-lagi aku harus jatuh dan tidak ada tangan siapapun yang ingin mengulurkan
tangan untukku namun hanya dia. Teman lama ku akhirnya di pilih dan saling
memilih untuk bersama, di bawah janji akan bersama hingga semesta menerima
bahwa genggaman tangan kami adalah genggaman yang akan kami rubah segera
menjadi jalan menuju surga dan kebersamaan kami adalah kewajiban sebagai titian
menuju ridha Allah SWT.
Tak lama, ujian datang berkunjung. Bukan sebuah
kunjungan yang semua manusia harapkan, namun di perlukan untuk menambah
kepercayaan diri bahwa kami di cintai oleh Allah sebesar kami mencintai Allah.
Aku adalah wanita kelahiran jawa-sumatera yang sejak
kecil sudah menelan berbagai macam wejangan dari Bapak untuk menjadi wanita
yang berprinsip dan dapat menjaga nama baik. Jangan pernah Tanya berapa kali Bapak
membuat air mata ku terurai karena kesalahan yang akhirnya aku di wajibkan
olehnya untuk membuat prinsip wanita mandiri sejak kecil. Sejak saat itu, aku
terbentuk menjadi pribadi yang cukup keras dan sak’lek dalam prinsip.
Tak pernah terbesit dalam duga bahwa teman hidupku akhirnya
yang menguji prinsip seumur hidupku. Sebuah pengkhianatan telah ia lakukan di
belakangku meski aku sudah dapat mencium kebusukannya sejak beberapa bulan
sebelumnya. Lagi-lagi, Allah memang tak akan pernah membiarkan hambaNya jatuh
sendirian.
Sebelum cakap berjalan begitu jauh dalam menanggapi kekeliruan
kelakuan teman hidup, aku memilih untuk mengetahui kebenaran tanpa berucap dan
menikmati beberapa kalimat pengakuan tersebut menyayat ringan perasaan yang
telah ku titipkan padanya. Lalu aku diam,mencari tempat bersembunyi dan
menimbang mengapa semesta harus lagi-lagi menguji di masa sulitku.
Aku bertanya, mengapa sesakit ini bila cinta seharusnya bahagia namun aku merasa sakit akan kenyataan di hadapanku
sekarang?
Aku bertanya kepada angin, dia diam. Hanya bermain
bersama daun yang berada di dekat sepatuku.
Aku bertanya kepada kerikil, dia diam.
Aku bertanya kepada pasir,dia bergerak! Namun dia
bergerak karena angin meniupnya.
Aku bertanya kepada ranting, dia hanya bergerak
seiring arah angin menggerakkannya.
Mengapa angin dapat berpengaruh terhadap benda di
sekelilingku? Ia tak berwujud. Ia semu.
Dan aku tersadar,
karena angin dan luka akan pengkhianatan ini adalah sama. Tak berwujud dan dapat
menggerakkan maupun menghentikan apapun bila aku tak dapat menunjukkan
kekuasaanku terhadap sekitar.
Apakah aku harus menyerah dan menghancurkan istana
pasir ‘kita’?
Atau, apakah aku harus bertahan karena tidak ada
yang dapat mempertahankan ‘kita’ selain ‘kita’?
Aku diam.
Langit diam.
Angin terus bertiup.
Klakson mobil membuatku terkesiap dan pindah ke
bangku lain. Berisik.
Timbul masalah untuk menentukan dimana aku akan
duduk selanjutnya, apakah tempat tersebut nyaman, dapat menghalau sinar
matahari yang dengan senangnya membuat kulitku belang. Dan apakah bangku
tersebut dapat membuatku nyaman seperti bangku yang telah kutinggal tadi.
Ah sudahlah, perkara kecil tak usah di
permasalahkan. Asal duduk saja.
Aku memutuskan untuk berjalan dan asal memilih
tempat duduk selanjutnya.
Lalu aku mulai berfikir lagi. Ternyata tempat duduk
tersebut tidak nyaman, bangkunya basah. Bisa di lap, lalu masalah selesai. Ku temukan
bahwa di sudut ini aku mudah di liat orang karena sinar di mataku kosong, aku
takut mendapat masalah lebih besar lagi karena orang dapat mencari celah
kelemahanku untuk berbuat jahat. Aku berusaha untuk memasang tampang serius,
berpikir dan tetap termangu didepan notes ku untuk menulis. Namun lagi-lagi aku
hanya diam. Sorot mataku terasa kosong dan berat untuk sekedar berkedip. Nafasku
tak lagi berirama seindah kemarin, aku kembali sedih.
Aku mulai berfikir dan sedikit merestore beberapa
file di recycle bin otakku.
Diam…
..
.
Dan, aku tersadar.
Aku kembali ke bangku di awal aku duduk dan aku
nyaman. Di situlah aku menemukan poros baru dalam jalan berpikirku.
Cinta bukanlah sekedar bagaimana kamu
mendapatkannya, namun bagaimana kamu mempertahankannya. Bukan perkara mudah
untuk seorang yang sangat berprinsip sepertiku untuk bertahan pada sebuah dahan
rapuh. Bila mengikuti prinsip idealisku, jelas aku memilih untuk berpindah
ranting dan menjaga ranting tersebut agar tidak rusak. Namun, ini cinta hei nona ninda,
bukan prinsip dan ego.
Poros baru ini mengarahkanku kepada kenyataan bahwa
seburuk apapun keadaanku ketika aku berjalan untuk pulang, hanya ia selain keluargaku
yang akan tetap menyambutku pulang. Bukan sekedar ucap, namun perlakuannya-lah di masalalu
yang membuatku tersadar. Aku bertahan.
Lalu, bagaimana dengan luka ini? Siapa yang akan
menyembuhkannya? Bukankah ia harusnya bertanggung jawab?
Seperti sebuah korek yang menyakan lilin di dinginnya
sikapku hari ini, aku memilih waktu sebagai penyembuh luka ini. Entah berapa lama yang di butuhkan oleh waktu
untuk merapatkan luka ini, aku ikhlas. Se ikhlas pohon yang tetap berdiri kokoh
meski daunnya berguguran, dijadikan tempat menempel poster, di buat sebagai
media pembuang kotoran dan dijadikan tempat berteduh oleh setiap mahluk hidup
yang lewat di bawahnya. Aku belajar bahwa cinta itu penuh dengan ke ikhlasan. Bukan
bagaimana ia harus membuatku bahagia, namun bagaimana mempertahakan kebahagiaan
itu tetap berada di sekitar kita. Bukan bagaimana cinta dipaparkan dalam ucap,
namun bagaimana cinta itu tetap ada dalam masing-masing kita.
Keputusan ku sudahlah bulat. Aku akan menemuinya.
Sore itu, entah datang darimana amarah tersebut
keluar begitu saja. Aku menyalak seperti binatang dan tidak hentinya membuat
pernyataan sinis tentang bagaimana luka ini mempengaruhi pikiranku.
Sesungguhnya aku merasa bersalah. Bukanlah seluruh
dari pengkhiatan ini adalah salahnya, aku pun mengambil tempat dari
keputusannya untuk berkunjung pada simpangan yang salah.
Ia mengajakku ke sebuah tempat. Tempat yang telah ia
cari untuk memenuhi impian ku tinggal di suatu lingkungan yang hanya aku dan
dia yang tau. Dan aku tersadar. Dalam tundukku sambil ditiup angin malam, aku
memohon ampun pada Allah SWT atas keputusanku untuk mengeluarkan amarahku
beberapa jam yang lalu. Dalam tundukku aku berharap ia tak benar-benar
menanggapi keinginanku untuk mengusirnya pergi dan menjalani hidup
masing-masing.
Hai, aku ingin kau kembali.
Hingga ku putuskan untuk memaparkan keinginanku
menyambutnya pulang apapun keadaannya melalui percakapan singkat antar pengguna
ponsel.
Kami kembali.
Surat ini bukan merupakan surat yang sesuai dengan
ekspetasi orang tentang apa itu surat cinta sesungguhnya. Namun ini adalah
surat cintaku, karena cinta tidak hanya tentang bahagia namun cinta juga tentang
menghadapi kerumitan dan berbahagia apapun keadannya.
Welcome back,yai. :-)
“Sebab setelah hujan selalu ada seseorang yang
datang sebagai pelangi, dan memelukmu.
Aku ingin orang itu selamanya aku. ”
― Abdurahman Faiz, Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil
Aku ingin orang itu selamanya aku. ”
― Abdurahman Faiz, Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil
Still yours,
Putri Aninda
Utami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar