Kamis, 26 Desember 2013

Surat Cinta

Aku sebagai penulis sebuah surat di hari ini akan bercerita tentang sedikit pengalaman, ketika cinta menghampiri dan membuat dua insan bersama dalam sebuah janji pribadi untuk tetap menjaga kebersamaan hingga diakui semesta.

 
Kisah ini acap ditemui sekitar yang tak jarang akan di tambahkan sejumput cerita penyedap untuk menarik perhatian orang akan keseluruhan kisah yang di maksud. 



Aku, aku aninda. Aku hanyalah gadis biasa yang setiap hari menempuh waktu 2 jam setiap pagi untuk berangkat menimba ilmu dan bersosialisasi di sebuah lembaga pendidikan. Aku bukan orang  unik, aku biasa aja. Namun seseorang mampu membuat alur hidupku menjadi luar biasa. 



2013 merupakan tahun dimana harapku lagi-lagi tak sesuai dengan kenyataan yang harus ku cerna. Banyak hal yang cukup mengecewakan dan tidak lagi sesuai dengan konsep yang telah ku coba padankan dengan kesanggupan diri di awal tahun. Manusia dapat berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Aku percaya, Tuhan memang menginginkan ku untuk mempelajari kesalahan dan menuai keberhasilan kelak. 

Oh ya, di tahun ini aku berjumpa dengan teman lama dalam keadaan yang sungguh memang rencana Tuhan itu sangatlah indah. Tak semua orang menyukai bergerumul dalam kisah lama,namun aku tertarik akan kisahnya, kisah lalu teman lama yang ingin ku ketahui karena hendak membaca kepribadiannya,bukan ingin tahu keseluruhan kisah lama tersebut. Sekitarnya seakan terhenti lantaran hilang bayang masa lalu-nya dan berpikir tak akan lagi menemui pelangi setelah badai yang menghanyutkan semua mimpinya. 

Hai teman, ingatlah masa dimana kamu ucap tak lagi mempunyai arah masa depan karena kehilangan sesosok semu pasangan dan lihat sekarang keadaanmu. Bersyukurlah karena janji Tuhan benar adanya, telah diciptakanNya seorang pasangan untuk tulang rusukmu itu,teman.


Aku dan teman lama berteman untuk saling menyemangati. Tak ayal lantaran rasa penasaranku yang tinggi akan pribadinya, membuatku kesulitan mengendalikan perasaan tersebut dan berusaha untuk tidak salah menafsirkan hal tersebut menjadi hal yang tidak seharusnya ku rasakan.


Singkat kisah, aku memilih untuk bersamanya setelah lagi-lagi aku harus jatuh dan tidak ada tangan siapapun yang ingin mengulurkan tangan untukku namun hanya dia. Teman lama ku akhirnya di pilih dan saling memilih untuk bersama, di bawah janji akan bersama hingga semesta menerima bahwa genggaman tangan kami adalah genggaman yang akan kami rubah segera menjadi jalan menuju surga dan kebersamaan kami adalah kewajiban sebagai titian menuju ridha Allah SWT.

Tak lama, ujian datang berkunjung. Bukan sebuah kunjungan yang semua manusia harapkan, namun di perlukan untuk menambah kepercayaan diri bahwa kami di cintai oleh Allah sebesar kami mencintai Allah.


Aku adalah wanita kelahiran jawa-sumatera yang sejak kecil sudah menelan berbagai macam wejangan dari Bapak untuk menjadi wanita yang berprinsip dan dapat menjaga nama baik. Jangan pernah Tanya berapa kali Bapak membuat air mata ku terurai karena kesalahan yang akhirnya aku di wajibkan olehnya untuk membuat prinsip wanita mandiri sejak kecil. Sejak saat itu, aku terbentuk menjadi pribadi yang cukup keras dan sak’lek dalam prinsip.


Tak pernah terbesit dalam duga bahwa teman hidupku akhirnya yang menguji prinsip seumur hidupku. Sebuah pengkhianatan telah ia lakukan di belakangku meski aku sudah dapat mencium kebusukannya sejak beberapa bulan sebelumnya. Lagi-lagi, Allah memang tak akan pernah membiarkan hambaNya jatuh sendirian.


Sebelum cakap berjalan begitu jauh dalam menanggapi kekeliruan kelakuan teman hidup, aku memilih untuk mengetahui kebenaran tanpa berucap dan menikmati beberapa kalimat pengakuan tersebut menyayat ringan perasaan yang telah ku titipkan padanya. Lalu aku diam,mencari tempat bersembunyi dan menimbang mengapa semesta harus lagi-lagi menguji di masa sulitku.


Aku bertanya, mengapa sesakit ini bila cinta seharusnya bahagia namun aku merasa sakit akan kenyataan di hadapanku sekarang?


Aku bertanya kepada angin, dia diam. Hanya bermain bersama daun yang berada di dekat sepatuku.

Aku bertanya kepada kerikil, dia diam.

Aku bertanya kepada pasir,dia bergerak! Namun dia bergerak karena angin meniupnya.

Aku bertanya kepada ranting, dia hanya bergerak seiring arah angin menggerakkannya.


Mengapa angin dapat berpengaruh terhadap benda di sekelilingku? Ia tak berwujud. Ia semu.

Dan aku tersadar, karena angin dan luka akan pengkhianatan ini adalah sama. Tak berwujud dan dapat menggerakkan maupun menghentikan apapun bila aku tak dapat menunjukkan kekuasaanku terhadap sekitar.

Apakah aku harus menyerah dan menghancurkan istana pasir ‘kita’?

Atau, apakah aku harus bertahan karena tidak ada yang dapat mempertahankan ‘kita’ selain ‘kita’?


Aku diam.


Langit diam.

Angin terus bertiup.

Klakson mobil membuatku terkesiap dan pindah ke bangku lain. Berisik.

Timbul masalah untuk menentukan dimana aku akan duduk selanjutnya, apakah tempat tersebut nyaman, dapat menghalau sinar matahari yang dengan senangnya membuat kulitku belang. Dan apakah bangku tersebut dapat membuatku nyaman seperti bangku yang telah kutinggal tadi.

Ah sudahlah, perkara kecil tak usah di permasalahkan. Asal duduk saja.

Aku memutuskan untuk berjalan dan asal memilih tempat duduk selanjutnya.
Lalu aku mulai berfikir lagi. Ternyata tempat duduk tersebut tidak nyaman, bangkunya basah. Bisa di lap, lalu masalah selesai. Ku temukan bahwa di sudut ini aku mudah di liat orang karena sinar di mataku kosong, aku takut mendapat masalah lebih besar lagi karena orang dapat mencari celah kelemahanku untuk berbuat jahat. Aku berusaha untuk memasang tampang serius, berpikir dan tetap termangu didepan notes ku untuk menulis. Namun lagi-lagi aku hanya diam. Sorot mataku terasa kosong dan berat untuk sekedar berkedip. Nafasku tak lagi berirama seindah kemarin, aku kembali sedih.


Aku mulai berfikir dan sedikit merestore beberapa file di recycle bin otakku.


Diam…

..

.


Dan, aku tersadar.

Aku kembali ke bangku di awal aku duduk dan aku nyaman. Di situlah aku menemukan poros baru dalam jalan berpikirku.

Cinta bukanlah sekedar bagaimana kamu mendapatkannya, namun bagaimana kamu mempertahankannya. Bukan perkara mudah untuk seorang yang sangat berprinsip sepertiku untuk bertahan pada sebuah dahan rapuh. Bila mengikuti prinsip idealisku, jelas aku memilih untuk berpindah ranting dan menjaga ranting tersebut agar tidak rusak. Namun, ini cinta hei nona ninda, bukan prinsip dan ego.


Poros baru ini mengarahkanku kepada kenyataan bahwa seburuk apapun keadaanku ketika aku berjalan untuk pulang, hanya ia selain keluargaku yang akan tetap menyambutku pulang. Bukan sekedar ucap, namun perlakuannya-lah di masalalu yang membuatku tersadar. Aku bertahan.


Lalu, bagaimana dengan luka ini? Siapa yang akan menyembuhkannya? Bukankah ia harusnya bertanggung jawab?

Seperti sebuah korek yang menyakan lilin di dinginnya sikapku hari ini, aku memilih waktu sebagai penyembuh luka ini.  Entah berapa lama yang di butuhkan oleh waktu untuk merapatkan luka ini, aku ikhlas. Se ikhlas pohon yang tetap berdiri kokoh meski daunnya berguguran, dijadikan tempat menempel poster, di buat sebagai media pembuang kotoran dan dijadikan tempat berteduh oleh setiap mahluk hidup yang lewat di bawahnya. Aku belajar bahwa cinta itu penuh dengan ke ikhlasan. Bukan bagaimana ia harus membuatku bahagia, namun bagaimana mempertahakan kebahagiaan itu tetap berada di sekitar kita. Bukan bagaimana cinta dipaparkan dalam ucap, namun bagaimana cinta itu tetap ada dalam masing-masing kita.

Keputusan ku sudahlah bulat. Aku akan menemuinya.


Sore itu, entah datang darimana amarah tersebut keluar begitu saja. Aku menyalak seperti binatang dan tidak hentinya membuat pernyataan sinis tentang bagaimana luka ini mempengaruhi pikiranku.


Sesungguhnya aku merasa bersalah. Bukanlah seluruh dari pengkhiatan ini adalah salahnya, aku pun mengambil tempat dari keputusannya untuk berkunjung pada simpangan yang salah.

Ia mengajakku ke sebuah tempat. Tempat yang telah ia cari untuk memenuhi impian ku tinggal di suatu lingkungan yang hanya aku dan dia yang tau. Dan aku tersadar. Dalam tundukku sambil ditiup angin malam, aku memohon ampun pada Allah SWT atas keputusanku untuk mengeluarkan amarahku beberapa jam yang lalu. Dalam tundukku aku berharap ia tak benar-benar menanggapi keinginanku untuk mengusirnya pergi dan menjalani hidup masing-masing. 

Hai, aku ingin kau kembali.


Hingga ku putuskan untuk memaparkan keinginanku menyambutnya pulang apapun keadaannya melalui percakapan singkat antar pengguna ponsel.

Kami kembali.

Surat ini bukan merupakan surat yang sesuai dengan ekspetasi orang tentang apa itu surat cinta sesungguhnya. Namun ini adalah surat cintaku, karena cinta tidak hanya tentang bahagia namun cinta juga tentang menghadapi kerumitan dan berbahagia apapun keadannya.






Welcome back,yai. :-)




“Sebab setelah hujan selalu ada seseorang yang datang sebagai pelangi, dan memelukmu.

Aku ingin orang itu selamanya aku. ”
― Abdurahman FaizNadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil




Still yours,




Putri Aninda Utami


Tidak ada komentar:

Posting Komentar